contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Selasa, 30 Maret 2010

Rumah Tahan Gempa dari Sengkang Benar

Jumat, 11/9/2009 | 09:56 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Betapa banyak rumah masyarakat yang rusak akibat gempa. Menilik musibah gempa Tasikmalaya pada 2 September 2009, Badan Nasional Penanggulangan Bencana melaporkan, 67.760 rumah rusak berat dan 150.839 rumah rusak ringan hanya di beberapa wilayah Jawa Barat.

Hengki Wibowo Ashadi, pengajar di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Kamis (10/9), mengatakan, membangun rumah tahan gempa tidak rumit, hanya menuntut pembentukan detail yang tepat di bagian-bagian tertentu.

”Membangun rumah tahan gempa tidak pula mahal. Pemilihan material bisa dimulai dari pemanfaatan reruntuhan batu bata bekas hingga penggunaan material ringan, seperti papan gabus untuk lapisan bagian dalam dinding dengan permukaannya dilapisi beton tipis,” kata Hengki, Kamis (10/9) di ruang kerjanya di Jakarta.

Hengki mengatakan, sebagian besar korban tewas akibat gempa adalah korban yang tertimpa bangunan. Untuk mengurangi risiko tersebut pada masa-masa mendatang, masyarakat yang tinggal di daerah rawan gempa patut mempertimbangkan metode-metode pembangunan rumah tahan gempa.

Berkaca dari gempa Tasikmalaya, sesuai laporan terakhir Badan Nasional Penanggulangan Bencana, terdapat 80 orang tewas dan 47 orang dinyatakan hilang. Kemudian sebanyak 1.142 orang terluka. Ini sangat tragis. Andai saja bangunan rumah mereka tahan gempa.

Dari jumlah ribuan rumah penduduk yang rusak akibat gempa, ternyata masih ada data tambahan 1.193 unit bangunan sekolah rusak berat dan 1.664 unit sekolah rusak ringan. Ini menunjukkan, kalangan dunia pendidikan pun masih abai terhadap bangunan tahan gempa.

Sengkang yang benar


Hengki menuturkan, membuat rumah tahan gempa dengan bentuk yang lazim dibuat penduduk seperti sekarang itu mudah dan murah. Kuncinya pada detail penempatan dan pembuatan sengkang (ring pada balok) yang harus benar.

”Saya pernah menyurvei toko-toko bangunan yang menjual kerangka besi untuk balok-balok beton. Rata-rata penempatan posisi sengkang salah semua,” kata Hengki.

Posisi sengkang yang benar bertujuan supaya rumah yang dibangun nantinya tahan gempa. Sengkang yang benar mencermati kerapatan posisi sengkang di ujung-ujung setiap balok beton. Sengkang pada kedua ujung balok itu harus rapat.

Jarak kerapatan sengkang satu sama lain bisa sekitar 5 sentimeter. Namun, patokan yang benar, batu untuk campuran beton yang dipergunakan harus tak bisa lolos. Kalau ukuran kerikil batu sekitar 2 sentimeter, mau tak mau kerapatan sengkang tak lebih dari 2 sentimeter.

Untuk ketinggian rangkaian, posisi sengkang yang rapat itu ditetapkan dua kali lebar balok yang ingin dibentuk. Kalau lebar balok 20 sentimeter, rangkaian sengkang yang merapat di kedua ujung balok tersebut panjangnya harus 40 sentimeter.

”Posisi sengkang yang merapat di kedua ujung balok menjadi penahan gerakan gempa. Bentuk detail sengkang pada ujung balok beton ini yang paling penting, tetapi masih banyak diabaikan,” kata Hengki.

Berdasarkan survei ke toko-toko bangunan yang menjual sengkang, menurut Hengki, bentuk sengkang yang dijual di toko-toko bangunan itu rata-rata salah. ”Ujung besi sengkang yang salah itu posisinya tak dibelokkan ke tengah-tengah diagonal sengkang,” kata Hengki.

Ujung besi sengkang yang dibelokkan ke tengah diagonal berfungsi memberi kekuatan yang lebih untuk menahan gaya gempa.

Terkait dengan penguatan struktur tulang lainnya yang sering diabaikan masyarakat, lanjut Hengki, yaitu tidak ada penjangkaran pada sambungan balok beton vertikal dengan horizontal.

Penjangkaran atau pembelokan ujung besi balok horizontal ke bawah menempel besi balok vertikal itu memiliki rumus panjang 20 kali diameter besi yang digunakan. Kalau besi yang digunakan berdiameter 10 milimeter, penjangkarannya cukup dengan 200 milimeter.

Balok beton fleksibel

Metode lain membuat rumah tahan gempa adalah dengan pembentukan balok beton fleksibel. Balok beton fleksibel tidak menyatu dengan lapisan dinding, tetapi hanya dihubungkan dengan pelat baja.

”Ketika terjadi gempa, struktur balok beton fleksibel itu dibebaskan bergerak. Namun, lapisan dinding dipertahankan tidak bergerak supaya terhindar dari keretakan,” kata Hengki.

Pada prinsipnya, bangunan atau rumah tahan gempa itu menggunakan material yang ringan, tetapi kuat. Logikanya, ketika terpaksa harus runtuh akibat gempa, struktur bangunan dari material ringan itu tidak akan sampai mematikan.

”Di sinilah letak penting untuk kembali menengok cara-cara tradisional kita dalam mendirikan bangunan atau rumah dengan kayu dan bambu. Kemudian, atapnya berupa ijuk, dan sebagainya,” kata Hengki.

Pemilihan material seperti kayu dan bambu memenuhi unsur ringan dan kuat, seperti pembuatan dinding dengan gedek atau rajutan bilah bambu itu jelas akan membentuk lapisan dinding yang ringan dan ramah terhadap gempa.

Untuk menempuh kembali metode tradisional tersebut, Hengki mengatakan, langkah terpenting adalah membuat material yang lebih kuat dan tahan lama, seperti melapisi bambu dengan polimer.

0

WAGUB SULSEL: PLTG SENGKANG HARUS DIBERI SANKSI
Written by Rollit Tuesday, 02 March 2010 00:24 PDF Print E-mail

Wakil Gubernur Sulawesi Selatan Agus Arifin Numang akan meminta pemerintah pusat memberikan penalti (sanksi) kepada perusahaan listrik swasta PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas) Sengkang, Sulsel.

Makassar, 1/3 (Antara/FINROLL Automotive) - Wakil Gubernur Sulawesi Selatan Agus Arifin Numang akan meminta pemerintah pusat memberikan penalti (sanksi) kepada perusahaan listrik swasta PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas) Sengkang, Sulsel.

Hal itu ditegaskan Wagub Sulsel setelah memperoleh laporan dari General Manager PT. PLN Sulawesi Selatan, Barat dan Tenggara (Sultanbatara) Ama Siang saat meninjau pembangkit PLN di Makassar, Senin.

Menanggapi keluhan pihak PLN, Wagub menilai PT. Energi Sengkang selaku pengelola PLTG Sengkang seharusnya diberikan sanksi atas keterlambatan perusahaan itu memasok kebutuhan listrik untuk masyarakat.

"Kalau ada kekurangan PLTG Sengkang seharusnya diberi sanksi karena selama ini pemerintah melalui PLN dibebankan biaya besar dari wajo (PLTG Sengkang)," ucapnya.

Upaya PLN sejauh ini sudah cukup maksimal dengan memasang delapan unit mesin genset cadangan, namun kondisi itu belum mampu menutupi kebutuhan listrik di Sulsel.

General Manager PT. PLN Sultanbatara dalam kesempatan itu berharap pemerintah provinsi bisa melakukan komunikasi dengan PT Energi Sengkang untuk memenuhi target perbaikan pembangkit listrik PLTG Sengkang yang sudah tiga kali mengalami penundaan.

"Kita berharap PLTG Sengkang bisa memenuhi batas waktu (deadline) perbaikan mesin mereka 31 Maret nanti," ucapnya.

Jika PLTG Sengkang mengulur waktu seperti ini, sudah jelas PLN harus mengeluarkan mereka dari sistem kelistrikan Sulsel, katanya.

PLN, katanya, meminta pemerintah meninjau kembali kontrak karya perusahaan milik PMA (penanaman modal asing) asal Australia itu, jika batas waktu perbaikan belum bisa dipenuhi.

Menurutnya, keterlambatan berikutnya akan kembali mengganggu kestabilan sistem kelistrikan di wilayah ini.

Berdasarkan data Area Penyaluran dan Pengaturan Beban (AP2B) Sulsel, kemampuan pembangkit selama Februari lalu sekitar 386 MW-453 MW.

Meski ketersediaan daya masih lebih tinggi dari realisasi pemakaian di saat beban puncak 390 MW-430 MW, namun selisihnya masih rentan memicu terjadinya pemadaman bergilir.

"Kita akan abaikan PLTG Sengkang dan menyewa mesin-mesin baru, jika kondisinya masih seperti ini" ungkapnya.

PLN mengaku akan mengoptimalkan kinerja mesin cadangan PLN yang sebesar 4 MW (megawatt) untuk dinaikkan menjadi 20 MW dengan konsekuensi masyarakat harus melakukan penghematan listrik.

0


Dialog Ramadhan Ketua Umum PB As'adiyah bersama SBY
Sabtu, 19 September 2009 05:02:46 -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, konsep berbagi di masyarakat terbagi cukup luas, seperti memberi, menolong, tenggang rasa dan kesetiakawanan. Implementasinya pun cukup jelas. Pemerintah memungut pajak yang dananya digunakan untuk membangun. Kemudian, perusahaan diharuskan mengeluarkan sebagian keuntungan. Sementara masyarakat menerjemahkan arti berbagi melalui zakat, infaq, sodaqoh, dan yang lainnya.

Aset BMT As'adiyah Tumbuh 72%
Ahad, 15 Februari 2009 06:19:12 -- Baitul Maal Wattamwil {BMT} As'adiyah, Sengkang berhasil membukukan laba bersih tahun buku 2008 Rp109.800.000 atau mengalami pertumbuhan sebesar 123% dari realisasi 2007 Rp49.082.000.

Ilham Berkunjung Ke Ponpes As'adiyah
Sabtu, 14 Februari 2009 06:35:54 -- Di sela-sela kunjungannya ke Kabupaten Wajo, Ketua DPD I Partai Golkar Sulsel Ilham Arief Sirajuddin mendatangi Pondok Pesantren (Ponpes) Asadiyah di Sengkang. Sabtu (24/1/09)

Arab Saudi Sediakan 15 Juta Mushaf Al-Quran untuk Jamaah Haji
Kamis, 27 November 2008 23:51:22 -- Pemerintah Arab Saudi menyediakan lebih dari 15 juta mushaf kitab suci Al-Quran. Rencananya, mushaf dalam jumlah besar itu akan didistribusikan pada jamaah haji dalam musim haji tahun ini untuk dibawa pulang ke negara masing-masing.

Santri Diminta Optimis Menjadi Pemimpin Masa Depan
Jumat, 26 September 2008 19:18:18 -- BONDOWOSO. Para Santri yang saat ini belajar di pondok pesantren di seluruh Indonesia, diminta untuk optimis menjadi pemimpin masa depan di negeri ini. Katib Aam Syuriah PBNU Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar MA, mengungkapkan saat pemberian bantuan beasiswa Supersemar pada santri PP Al-Ishlah Bondowoso, Asuhan KH. Muhammad Ma’shum, belum lama ini.

0
Rabu, 10 Maret 2010

Kebesaran tanah Wajo pada masa dahulu, termasuk kemajuannya di bidang pemerintahan, kepemimpinan, demokrasi dan jaminan terhadap hak-hak raknyatnya. Adapun konsep pemerintahan adalah :

  1. Kerajaan
  2. Republik
  3. Federasi, yang belum ada duanya pada masa itu

Hal tersebut semuanya ditemukan dalam LONTARAK SUKKUNA WAJO. Sebagaimana yang diungkapkan bahwa beberapa nama pada masa Kerajaan Wajo yang berjasa dalam mengantar Tana Wajo menuju kepada kebesaran dan kejayaan antara lain :

  1. LATADAMPARE PUANGRIMAGGALATUNG
  2. PETTA LATIRINGENG TO TABA ARUNG SIMETTENGPOLA
  3. LAMUNGKACE TOADDAMANG
  4. LATENRILAI TOSENGNGENG
  5. LASANGKURU PATAU
  6. LASALEWANGENG TO TENRI RUA
  7. LAMADDUKKELLENG DAENG SIMPUANG, ARUNG SINGKANG (Pahlawan Nasional)
  8. LAFARIWUSI TOMADDUALENG

Dan masih banyak lagi nama-nama yang berjasa di Tanah Wajo yang menjadi peletak dasar kebesaran dan kejayaan Wajo.

Beberapa versi tentang kelahiran Wajo, yakni :

  1. Versi Puang Rilampulungeng
  2. Versi Puang Ritimpengen
  3. Versi Cinnongtabi
  4. Versi Boli
  5. Versi Kerajaan Cina
  6. Versi masa Kebataraan
  7. Versi masa ke Arung Matoa-an

Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tahun dari pada Hari Jadi Wajo ialah versi Boli, yakni pada waktu pelantikan Batara Wajo pertama LATENRI BALI Tahun 1399, dibawah pohon besar (pohon Bajo). Tempat pelantikan sampai sekarang masih bernama Wajo-Wajo, di daerah Tosora Kecamatan Majauleng.

Terungkap bahwa, pada mulanya LATENRI BALI bersama saudaranya bernama LATENRI TIPPE secara berdua diangkat sebagai Arung Cinnongtabi, menggantikan ayahnya yang bernama LAPATIROI. Akan tetapi dalam pemerintahannya, LATENRI TIPPE sering berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya yang diistilahkan ”NAREMPEKENGNGI BICARA TAUWE”, maka LATENRI BALI mengasingkan dirinya ke Penrang (sebelah Timur Tosora) dan menjadi Arung Penrang. Akan tetapi tak lama kemudian dia dijemput rakyatnya dan diangkat menjadi Arung Mata Esso di Kerajaan Boli. Pada upacara pelantikan dibawah pohon Bajo, terjadi perjanjian antara LATENRI BALI dengan rakyatnya dan diakhiri dengan kalimat ”BATARAEMANI TU MENE’ NA JANCITTA, TANAE MANI RIAWANA” (Hanya Batara Langit di atasnya perjanjian kita, dan bumi di bawahnya) NARITELLANA PETTA LATENRI BALI PETTA BATARA WAJO.

Berdasarkan perjanjian tersebut, maka dirubahlah istilah Arung Mata Esso menjadi Batara, dan kerajaan baru didirikannya, yang cikal bakalnya dari Kerajaan Boli, menjadi Kerajaan Wajo, dan LATENRI BALI menjadi Batara Wajo yang pertama.

Sedangkan untuk menentukan tanggal Hari Jadi Wajo, dikemukakan beberapa versi, yakni :

  1. Versi tanggal 18 Maret, ketika armada Lamaddukkelleng dapat mengalahkan armada Belanda di perairan Pulau Barrang dan Koddingareng.
  2. Versi tanggal 29 Maret, ketika dalam peperangan terakhir, Lamaddukkelleng di Lagosi, dapat memukul mundur pasukan gabungan Belanda dan sekutu-sekutunya.
  3. Versi tanggal 16 Mei, ketika Lasangkuru Patau bergelar Sultan Abdul Rahman Arung Matoa Wajo, memeluk agama Islam.
  4. Versi ketika Andi Ninnong Ranreng Tuwa Wajo, menyatakan di depan Dr. SAM RATULANGI dan LANTO DG. PASEWANG di Sengkang pada Tahun 1945 bahwa rakyat Wajo berdiri di belakang Negara Kesatuan Indonesia.

Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tanggal daripada Hari Jadi Wajo, ialah versi tanggal 29 Maret, karena sepanjang sejarah belum pernah ada pejuang yang mampu mengalahkan Belanda pada pertempuran terakhir. Peristiwa ini terjadi pada Tahun 1741.

Dengan perpaduan dua versi tersebut di atas, maka disepakati: Hari Jadi Wajo ialah Tanggal 29 Maret 1399.

Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Wajo pada masanya, disebabkan oleh berbagai aspek sebagaimana telah dikemukakan tedahulu, namun ada hal yang sangat hakiki yang perlu mendapatkan perhatian, yakni adanya kepatuhan dan ketaatan Raja dan rakyatnya terhadapat Pangadereng, Ade yang diwarisi dan disepakati, Ade Assiamengeng, Ade Amaradekangeng, sistem Ade dengan sitilah ADE MAGGILING JANCARA, serta berbagai falsafah hidup, pappaseng dan sebagainya.

Kepatuhan dan ketaatan rakyat Wajo terhadap rajanya, sebaliknya perhatian dan pengayoman raja terhadap rakyatnya adalah satu aspek terwujudnya ketentraman dan kedamaian dalam menjalankan pemerintahan pada masa itu. Hal ini dapat kita lihat, pada saat LA TIRINGENG TO TABA dalam kedudukannya sebagai Arung Simettengpola mengadakan perjanjian dengan rakyatnya. Perjanjian ini dikenal dengan ”LAMUNGPATUE RILAPADDEPA” (Penanaman batu = Perjanjian Pemerintahan di Lapaddeppa’).

Inti dari perjanjian ini ialah bahwa rakyat akan patuh terhadap perintah raja, asalkan atas kebaikan dan kemaslahatan rakyat, demikian pula raja akan senantiasa mengayomi rakyatnya dengan dasar Ade, Pengadereng (hukum), dengan pengakuannya :

”IO TO WAJO, MAUTOSA MUPAMESSA’, MUA RIATIMMU, MUPAKEDOI RILILAMU MAELO’E PASSUKKA’ RIAKKARUNGEKKU RI BETTENGPOLA, MAPERING TOKKO NA BACU BACUE, ONCOPISA REKKO MUELOREKKA’MAJA’ MATTI PAJJEO TO WAJO”

Artinya :

Ya orang-orang Wajo, sekalipun menimbulkan dalam hatimu atau menggerakkan dalam lidahmu, hendak mengeluarkan aku dari jabatan kerajaanku di Bettengpola, engkau akan tersapu bersih dari pada tersapunya batu-batu. Apalagi jika kalian bermaksud jahat terhadapku, maka engkau kering bagaikan garam.

Pada bagian lain Petta Latiringeng To Taba Arung Sao Tanre, Arung Simettengpola mengemukakan ”NAPULEBBIRENGNGI TO WAJJOE MARADEKA NAKKEADE’, NAMAFACCING RI GAU SALAE, NAMATINULU MAPPALAONG, NASABA RESOFA TEMMANGINGNGI MALOMO NALETEI PAMMASE DEWATA, NAMAFAREKKI WARANG PARANG, NASABA WARANG PARANGMITU WEDDING MAPPATUWO, WARANG PARANG MITU WEDDING MAPPAMATE”.

Artinya :

Yang menjadikan orang Wajo mulia ialah Kemerdekaan yang menjunjung tinggi hukum dan hak azasi manusia, ia rajin bekerja, karena hanya dengan kerja keras sebagai titian untuk mendapatkan limpahan Rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Hemat terhadap harta benda, karena harta benda orang bisa hidup sempurna dan harta benda pula bisa mematikan orang.

Apa yang telah diletakkan oleh Batara Wajo Pertama ini, oleh Batara Wajo dan Arung Matowa berikutnya terus dikembangkan sampai masa pemerintahan ARUNG MATOWA WAJO KEEMPAT: LATADAMPARE PUANG RIMAGGALATUNG, Wajo mencapai kejayaan. Pada masa pemerintahan inilah selama sepuluh tahun disempurnakan segala peraturan hukum adat, pemerintahan dan peradilan, dan mengajarkan etika pemerintahan, merealisasikan demokrasi dan hak-hak azasi manusia, konsep negara sebagai abdi rakyat (public servent) dan konsep Rule of Law (hukum yang dipertuan bukan raja).

Salah satu Ade Amaradekangengna yang dimuat secara terpencar dalam Lontarak Sukkuna Wajo, yang selanjutnya menjadi motto pada Lambang Daerah Kaubpaten Wajo (walaupun disingkatkan), antara lain berbunyai :

”MARADEKA TOWAJOE NAJAJIAN ALENA MARADEKA, TANAEMMI ATA, NAIYYA TOMAKKETANAE MARADEKA MANENG, ADE ASSAMA TURUSENNAMI NAPOPUANG”.

Artinya :

Orang-orang Wajo, adalah orang merdeka, mereka merdeka sejak dilahirkan, hanya negeri mereka yang abdi, sedangkan si pemilik negeri (rakyat) merdeka semua dan hanya hukum adat yang disetuji bersama yang mereka pertuan.

Kebesaran dan kemuliaan Tana Wajo disebutkan dalam Lontarak :

MAKKEDATOI ARUNG SAOTANRE PETTA TO TABA’ LA TIRINGENG : ”NAIA PARAJAIENGNGI WAJO’, BICARA MALEMPU’E NAMAGETTENG RI ADE’ MAPPURAONRONA, NAMASSE’ RI ADE’ AMMARADEKANGENNA IA TONA PASIAMASENGNGE TAUE RI LALEMPANUA, PASIO’DANINGNGE TAU TEMMASSEAJINGNGENG, NASSEKITOI ASSEAJINGENNA TANAE. NAPOALIE’-BIRETTOI TO WAJO’E MARADEKAE, NAIATOSI NAPOASALAMAKENGNGE TO WAJO’E MAPACCINNA ATINNA NAMALEMPU’, NAMATIKE’, NAMATUTU, NAMETAU’ RI DEWATA SEAUAE, NAMASIRI’ RIPADANNA TAU. LATONARO KUAE PACCOLLI’I PA’DAUNGNGI WAJO’, PATTAKKEI, PAPPALEPANGNGI, PAPPARANGA-RANGAI, NALORONG LAO ORAI’, LAO ALAU’, LAO MANINAG, LAO MANORANG, MATERENG RAUNNA MACEKKE’ RIANNAUNGI RI TO WAJO’E”.

Artinya :

Berkata pula Arung Saotanre Tuan Kita To Taba’ La Tiringeng: ”Yang membesarkan Wajo, ialah peradilan yang jujur, getang pada adat tetapnya dan teguh pada adat kebesarannya. Itu pula yang menyebabkan orang-orang saling mengasihi di dalam negeri, saling merindui orang-orang yang tidak bersanak dan mengukuhkan persahabatan negeri. Menjadikan pula orang-orang Wajo mulia karena kebebasannya. Yang menyelamatkan orang-orang Wajo, ialah ketulusan hatinya dan kejujurannya lagi waspada, berhati-hati, takut kepada Dewata Yang Esa dan menghargai harkat sesamanya manusia. Yang demikian itulah yang memutikkan dan mendaunkan Wajo, menangkaikan dan memelepahkan serta melebarkannya, menjalar ke barat, timur, selatan dan ke utara, rimbun dan dingin daunnya dinaungi oleh orang-orang Wajo”.

Nilai-nilai luhur yang antara lain dikemukakan di atas, maupun dalam Lontarak Sukkuna Wajo adalah kearifan yang menjadi jati diri rakyat Wajo, yang seharusnya kita kembangkan dan lestarikan.

0

MENGULAS SEJARAH KEMERDEKAAN WAJO
Oleh : Suryadin Laoddang

Pemerhati Budaya Wajo, tinggal di Yogyakarta


Negeri Wajo adalah sebuah negeri yang sangat unik, ia tidak mengenal sistem pemerintahan yang otokratis, melainkan demokratis. Pemerintah dan rakyat Wajo, memahami bahwa Kerajaan Wajo adalah kerajaan yang dimiliki secara bersama oleh pemerintah dan rakyat. Seorang Raja tidaklah diangkat secara turun temurun, melainkan ditunjuk dan kemudian diangkat oleh dewan adat yang disebut Arung Patappuloe (Dewan Adat yang beranggotakan 40 Orang). Rakyat yang dalam bahasa bugis disebut Pabbanua memiliki hak dan kebebasan yang tercetus dalam adek Ammaradekangenna to Wajoe.

Ikhwal pernyataan kemerdekaan orang Wajo, tercetus pada masa pemerintahan Puangnge Ri Timpengeng, jauh sebelum masa ke-Batara-an Wajo terbentuk. Kala itu tersebutlah sebuah negeri yang sangat subur yang kemudian diberi nama kerajaan Boli (cikal bakal kerajaaan Wajo).

Suatu ketika datanglah utusan raja Kedatuan Luwu bernama Opu Balitantre. Untuk menarik Widdatali, sejenis pajak tanaman, namun ketika ia tiba ditengah kerajaan tersebut, heranlah ia melihat rumah penduduk disana, yang tidak menyerupai rumah-rumah di Luwu, ataupun di Gowa. Sehingga ia menjadi ragu, sesungguhnya kerajaan yang didatanginya ini meng-hamba kepada imperum Luwu atau Gowa ?, Keraguan tersebut dijawab oleh Puangnge Ri Timpengeng, raja ke-2 Kerajaan Boli “Ia Taue engkae kkua …, tau kumanengmua jaji, arolanmi ritangnga, Nakko Lantimojong naseng mania’, assaleng Luwu’tu. Nakko Wawokaraeng naseng manai’, Mangkasa’itu”.
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Orang-orang yang ada disini adalah penduduk pribumi, mereka lahir disini. Mereka memilki hak untuk mengikut kepada siapa saja, jika mereka menunjuk Gunung Latimojong, berarti mereka orang Luwu, jika mereka menunjuk Gunung Bawakaraeng, berarti mereka orang Makassar.

Setelah Opu Balitanre bertanya pada khalayak yang ada di Kerajaan Boli, tidak satupun yang menunjuk Gunung Latimojong ataupun Gunung Bawakaraeng. Hal ini berarti, Orang-orang dikerajaan Boli, adalah orang merdeka, mereka tidak meng-hamba pada imperium Luwu maupun Gowa.

Inilah asas kemerdekaan awal orang Wajo sesungguhnya. Bahkan Menurut keterangan Andi Makkaraka pada tahun 1968, pada masa pemerintahan Puannge Ri Lampullungen, raja sebelum Puangnge Ri Timpengeng asas kemerdekaan itu sudah ada, dengan bunyi “RI LALENG TAMPU’ MUPI TO WAJO’E NAMARADEKA”
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Bahkan sejak dalam kandungan, orang Wajo sudah merdeka”
Dalam catatan lain, pesan-pesan kemerdekaan Wajo, berulang-ulang ditegaskan oleh para pemimpin dan cendikiawan Wajo, seperti :

Pesan Latenri Bali, Batara Wajo I






Setetelah terbentuknya kerajaan Tellu Kajuru’na Boli, maka disepakatilah untuk mengangkat La Tenri Bali sebagai raja dari kerajaan unfikasi tersebut. Sehingga sangatlah wajar jika sosok Latenribali disebut sebagai pemersatu kerajaan-kerajaan kecil di dataran Wajo saat itu . Dengan gelar Batara Wajo I, La Tenri bali mengungkapkan adagium kemerdekaan sebagai berikut :

“MARADEKA TO WAJOE TARO PASORO GAU’NA, NAISSENG ALENA, ADE’NA NAPOPUANG”1
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Orang Wajo itu Merdeka dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya, mereka tahu diri, dan hanya adatlah yang dijadikan anutan.

Pesan Latiringen To Taba

La Tiringen To Taba, adalah salah seorang cendkiawan Wajo yang hidup pada tahun 1436 – 1521. Hidup pada pada masa-masa pemerintahan La Tenri Bali (Batara Wajo I) sampai dengan Wajo I) hingga La Mungkace To Uddamang (Arung Matoa Wajo XI). Selama 55 tahun beliau mengabdi pada Kerajaan Wajo diantaranya pada La Tenri Bali dan La Taddampare Puang Rimaggalatung (Arung Matoa Wajo IV). Beliau adalah Petta Inanna Limpoe (Ibu Rakyat Wajo), bergelar Arung Bettengpola.

Pada tahun 1476, dibawah dua pohan asam yang berdampingan, di maklumatkanlah perjanjian yang dikenal dengan nama Mallamungpatue ri Lapadeppa. Selain menetapkan hukum pemerintahan, perjanjian tersebut juga menetapkan adek amaradekangenna to WajoE, seperti berikut :

1. Kehendak orang Wajo tidak bisa dihalangi
2. Orang Wajo tidak boleh dilarang mengeluarkan pendapat
3. Orang Wajo tidak boleh dilarang pergi ke Selatan, Utara, Barat ataupun Timur
4. Jika orang Wajo hendak bepergian atau bermigrasi maka tidak boleh diatahan
5. Orang Wajo tidak berkewajiban melakukan perbuatan atau perintah yang tidak memiliki dasar hukum adatnya.
6. Orang Wajo boleh ditahan ditanah Wajo, atau diperintahkan diluar hukum adat, hanya jika Wajo diserang oleh musuh atau jika mereka memiliki perkara yang belum diselesaikan di Pengadilan. Jika musuh sudah diusir dan perkara mereka sudah diputuskan pengadilan, maka mereka boleh meninggalkan negeri Wajo.
7. Orang Wajo, harus senantiasa menjaga prilaku dan sopan santun.
8. Orang tidak diperkenankan melanggar hak-hak orang lain, ia harus tahu diri, dan mengenali diri sendiri, serta tidak boleh menyalahgunakan hak-hak kemerdekaan mereka.

Butir-butir adek amaradekangeng tersebut teruntai dalam adagium :

“NAPOALLEBIRENGNGI TO WAJOE, MARADEKAE, NA MALEMPU, NA MAPACCING RI GAU’ SALAE, MARESO MAPPALAONG, NA MAPAREKKI RI WARANG PARANNA”.

Diterjemahkan (oleh penulis) :
Orang Wajo lebih memilih kebebasan, jujur, bersih dari prilaku buruk, ulet bekerja, dan hemat.

Perjanjian di Lapaddeppa (sekarang Lapaduppa, penulis) tersebut diprakarsai oleh Arung Saotanre yang bergelar Arung Bettengpola, salah satu …. (negara bagian) Kerajaan Wajo selain Talotenreng dan Tua. Sepanjang masa pengabdiannya, sedikitnya 5 kali (setiap kali terjadi kekosongan pemerintahan) beliau ditawari bahkan ditekan oleh dewan adat menjadi Arung Matowa Wajo, tapi selalu ditolaknya, karena tidak mau menghianati isi perjanjian Mallamungpatue ri Lapadeppa.

Pesan Lataddampare Puang Rimaggalatung, Arung Matoa Wajo IV (1491-1521)

La Taddampare Puang Rimaggalatung, adalah salah satu cendikiawan hebat yang dimiliki oleh Kerajaan Wajo, sama dengan La Tiringen To Taba, beliau juga berkali-kali menolak untuk menjadi Arung Matoa Wajo, namun setelah berkali-kali didesak oleh dewan adapt, akhirnya pada tahun 1491 beliau dilantik menjadi Arung Matoa Wajo IV. Sumber lain mencatat, Puang Rimaggalatung sempat dua kali menjabat sebagai Arung Matoa Wajo yakni pada tahun 1482-1487, dan menjabat kembali pada tahun 1491-1521 , sayangnya penulis belum menemukan catatan tentang latar belakang dari peristiwa tersebut.

Setelah mendapatkan persetujuan dewan adat, Puang Ri Maggalatung menetapkan Hukum adat seperti berikut :

1. Harta benda orang Wajo tidak boleh dirampas.
2. Orang Wajo tidak boleh ditangkap, jika tidak terbukti kesalahannya.
3. Orang Wajo tidak boleh dihukum, jika tidak terbukti melakukan kejahatan, apalagi jika tidak mempunyai kesalahan.
4. Barang-barang atau orang-orang yang serumah dengan mereka, tidak boleh dirampas atau ditangkap, jika mereka tidak sekongkol atau seniat dengan mereka.
5. Siapa saja yang menggali lubang, maka dialah yang harus mengisinya, tidak boleh orang lain. (berani berbuat, berani bertanggung jawab, pen)
6. Orang Wajo tidak diperkenankan menyita barang orang lain, kecuali telah ada keputusan Pengadilan Adat.
7. Orang Wajo tidak diperkenankan saling menanami sawah atau kebun orang lain. (Tidak boleh mengusai tanah orang lain, pen)
8. Tidak saling memfitnah dalam hal terjadi pencurian.
9. Walaupun seorang Putra Mahkota, mengenali suatu barang miliknya yang ada ditangan orang lain, ia tidak boleh langsung mengambilnya tanpa ada keputusan Pemangku adat.
10. Orang Wajo tidak boleh saling memfitnah
11. Orang Wajo tidak boleh menyatakan sesuatu ada, padahal tidak ada.
12. Orang Wajo harus saling percaya dan bersaksi pada Tuhan Yang Maha Esa.

Butir-butir adek amaradekangeng tersebut teruntai dalam adagium :

“MARADEKA TO WAJO’E NAJAJIAN ALENA MARADEKA, TANAEMI ATA, NAIA TAU MAKKETANAE MARADEKA MANENG, ADE’ ASSIMATURUSENGNAMI NAPOPUANG”
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Orang Wajo merdeka, dan terlahir dalam kondisi sudah merdeka, hanya tanahlah yang menjadi abdi, setiap mereka yang hidup diatas tanah Wajo memiliki hak kemerdekaan, dan hanya adat turun-temurun yang telah disepakatilah yang dijadikan pengikat.

Mengulang ungkapan dari Puangnge Ri Timpengeng, La Taddampare Puang Rimaggalatung menambahkan asas kemerdekaan orang Wajo dengan bunyi;
“RI LALENG TAMPU’ MUPI NAMARADEKA TO WAJO’E”.
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Bahkan sejak dalam kandungan, sudah merdekalah orang Wajo

Dalam versi lain, adapula ungkapan yang berbunyi; ”MARADEKA TO WAJOEE, NAJIAJIAN ALENA MARADEKA, NAPOADA ADANNA, NAPOBBICARA BICARANNA, NAPOGAU GAU’NA, ADE’ ASSIMATURUSENGNAMI NAPOPUANG”
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Merdeka orang Wajo, terlahir dalam kondisi sudah merdeka, mereka bebas mengutarakan pendapat, bebas berbicara, bebas berekspresi, dan hanya adatlah yang mengikat mereka.

Kesemua adagium atau ungkapan kemerdekaan tersebut, kemudian dirumuskan oleh Prof. Mr. DR. H. Andi Zaenal Abidin Farid, sebagai berikut :

ADE’ ASSIMARADEKANGENGNA TO WAJOE

Maradeka To WajoE, najajiang alena maradeka, tanaemi ata, naia tomakketanae maradeka manengngi, ade assamaturusengnami napopuang.
Naia riasengnge maradeka, laje’ tenriatteangngi, lao maniang, lao manoran, lao alau, lao orai’. Mangnganga tange’na Wajo nassu’ ajenamato mpawai massu’.
Mallaja-laja tange’na Wajo nauttama, ajenamato pattamai.

Mallekku tenri pakke’de, tenrirappa, tenrireppung, tenrisampoate’, tenripateppai elo arung mangkau’. Naia pali’na Wajo ri to WajoE teppuppu, tenripinra, tenripaleangi.
Namua naware’ rikoangngi, naiamua napopali, nakkalukkukengngi nalao.
Namua nacappa loli risampakengngi natania napapoli nalajerengngi iarega naoppokengngi, apa ia palina Wajo ri to WajoE, pangaja.

Naia pa’bunona, pakkatuo. Apa ia to WajoE, tempeddingi riuno sangadinna gau’na mpunoi.Temppeddingtoi risalang bicaranna sangadinna gauna memeng, tutunna memeng pasalai. Tenriampa’i ri ada-adanna, iakia naita alena, naissengtoi alena.

Tennapasalaleng ammaradekangenna temppeditoi riatteang mapada eko padana maradeka. Naripatammutoi naripakedde mato narekko nattamaiwi Wajo bali, iaregga engka bicaranna teppura napuraparosokkang balie purapi repettui bicaranna nalajepaimeng nallekku paimeng. Mabbojo-wajo macekkemi to WajoE ri Wajo.

Diterjemahkan oleh Penulis :

Orang Wajo merdeka, dan terlahir dalam kondisi sudah merdeka, hanya tanahlah yang menjadi abdi, setiap mereka yang hidup diatas tanah Wajo memiliki hak kemerdekaan, dan hanya adat turun-temurun yang telah disepakatilah yang dijadikan pengikat.

Merdeka bagi orang adalah, ia bebas pergi kemana ia suka, ia bebas bermigrasi, tidak dilarang ke Selatan, Utara, Timur ataupun Barat. Pintu negeri Wajo terbuka lebar, sehingga mereka bisa meninggalkan Wajo, mereka juga bebas memasuki Wajo kembali sekehendak kaki mereka. Orang Wajo tidak boleh dipaksa, jika mereka tidak mentaati atau tidak melaksanakan sebuah perintah yang tidak ada dasar hukumnya.

Harta benda dan orang-orang yang serumah dengan mereka, tidak boleh dirampas, tidak boleh dikebat, tidak boleh disita, tidak juga ikut dipertanggung jawabkan, jika tidak ada sangkut pautnya dengan kejahatan yang dilakukan oleh mereka. Kehendak Raja tidak boleh dipaksakan dan ditimpakan secara mutlak kepada mereka.

Peraturan, hukuman atau kewajiban yang telah ditetapkan tidak boleh dirubah atau diganti. Namunn, peraturan, hukuman atau kewajiban sekecil dan sebesar apapun, jika tidak memiliki dasar hukum adapt, maka mereka boleh menolaknya. Karena sesungguhnya amar hukum yang berlaku di Wajo adalah nasehat. Adapun ketetapan hukum yang sesungguhya adalah ketetapan hukum pemilik kehidupan, Tuhan Yang Maha Esa. Karena, sesungguhnya orang Wajo tidaklah boleh dibunuh, kecuali ia membunuh dirinya sendiri dengan aib sebagai akibat dari perbuatannya yang tercela. Mereka, tidaklah boleh dituduh persalahkan kecuali sudah terbukti di Pengadilan, bahwa mereka melakukan perbuatan atau perkataan yang tercela.

Orang Wajo tidak boleh dilarang mengeluarkan pendapat, tapi pada diri mereka terikat ketetapan untuk tahu diri dan mengetahui batasan-batasan dari segala pendapatnya. Mereka, tidak diperkenankan menyalahgunakan kemerdekaannya. Mereka dibebaskan melakukan perjanjian atau kerjasama dengan orang merdeka lainnya.

Orang Wajo boleh ditahan ditanah Wajo, atau diperintahkan diluar hukum adat, hanya jika Wajo diserang oleh musuh atau jika mereka memiliki perkara yang belum diselesaikan di Pengadilan. Jika musuh sudah diusir dan perkara mereka sudah diputuskan pengadilan, maka mereka boleh meninggalkan negeri Wajo. Sesungguhnya orang Wajo, hanya akan merasa tentram jika tinggal ditanah Wajo.

Sungguh sebuah kearifan lokal yang sangat maknawi nan adiluhung, sangat bersebrangan dengan kondisi Wajo saat ini. Pemerintah dan Rakyat tidak lagi segendang sepenarian. Bahkan cenderung menggunkan hukum hutan rimba sebagaimana dalam ungkapan bugis kuno sianre bale tauwwe. Budaya sipakatau, sipakalebbi, sipakainge, kini berubah menjadi sipakatau-tau, sipakalebbi-lebbi, dan sipakalinge-linge. Pesan leluhur untuk saling sirenreseng peru, seperti dalam ungkapan mali siparappe, rebba sipatokkong, malilu sipakainge, kini berubah menjadi malii sipareppa-reppa, rebba sipatongko-tongko, malilu sipakalinge-linge.

Sungguh ironis, dalam lambang pemerintah kabupaten Wajo, tertulis jelas semboyang “maradeka to WajoE ade’na napopuang”. Kini, adagium itu tidaklah lebih dari sekedar coretan yang tertimbung endapan dikedalaman dua puluh tujuh (27) Kilo Meter didasar danau Tempe. Mungkin adagium yang layak kita ungkapkan sekarang adalah “maddareke’ to WajoE, matanre siri’mi nade nappau” atau “madoraka to Wajo, Andi’E-na napopuang”. Tapi apapun itu, saya tetap cinta dengan Wajo saya, seperti orang Inggris berkata “Right or wrong is my country”.

_______________________________
Catatan buat adindaku di KEPMAWA :

• Tulisan ini, tidaklah lebih dari tanggung jawab moral kami untuk meluruskan pemahaman kita tentang kearifan lokal yang kita miliki. Tentulah ironis, ketika Matthes, RA.Kern, A.A. Cence, Noorduyn, Boxer, Braam Moris, dan puluhan ilmuwan barat lainnya mengakui bahwa kearifan lokal Wajo yang terangkum dalam Lontara Sukkuna Wajo, adalah catatan sejarah terbaik yang dimiliki bangsa Asia. Tapi justru kita sebagai orang Wajo sendiri, acapkali salah memahami bahkan memaknainya.
• Insya-Allah dalam waktu dekat, kami akan segera membuat tulisan, sekedar untuk memperjelas pemahaman kita tentang :
• Siapakah sosok La Tiringen To Tabak itu sebenarnya ?
• Bagaimana konsep Siri’ dan Pesse di Wajo, mana yang lebih tinggi derajatnya diantara keduanya.
• Seperti apakah sebenarnya konsep Adek, Warik, Tuppu, Rapang, Sarak dan Jallo itu ?
• Siapakah sebenarnya kerajaan Cina tersebut, kenapa dan kapan ia berubah menjadi kerajaan Ji’ Pammana, apa hubungannya dengan kerajaan Boli dan Wajo ?
• Sudah tepatkah, konsep Sulapa Eppak yang diungkapkan oleh Ch. Pelras, bagaimana pula dengan konsep Sulapa Eppak versi Prof. Dr. Zaenal Abidin Farid ?. Khusus pada tulisan ini insya-Allah akan dibumbui dengan “pertengkaran ilmiah” antara kedua tokoh tersebut.

0

Wajo - Mengenal kebudayaan Bugis, Sulawesi Selatan, tidak lengkap bila mengabaikan salah satu kerajaan tertua di sana. Kerajaan Wajo. Pada masa jayanya, kerajaan yang melahirkan pahlawan nasional Aru Palaka ini, wilayahnya meliputi sebagian Kabupaten Sidrap, Bone dan Soppeng serta seluruh wilayah Kabupaten Wajo saat ini.

Wajo, dibentuk sekitar tahun 1300-an oleh tiga pemimpin negeri, yaitu Bentengpola, Talok Tenreng dan Tuwa. Ketiga pemimpin negeri yang masing-masing disebut Arung ini sepakat membentuk kerajaan bersama. Dipimpin oleh seorang Arung Matowa.

Tahun 1948 adalah tahun berakhirnya pemerintahan Kerajaan Wajo, ketika pemerintah Republik Indonesia menghapuskan kekuasaan raja di daerah. Reruntuhan kerajaan yang nyaris tak berbekas seolah tak mampu mengungkap kebesarannya. Bahkan kini hanya tersisa satu komunitas pewaris Kerajaan Wajo, yaitu keluarga atau Rumpung Bentengpola. Rumpung Bentengpola merupakan komunitas yang menjadi pilar utama Kerajaan Wajo.

Saat ini komunitas itu memiliki seorang pemimpin yang masih dianggap sebagai raja, yaitu Datu Sangaji, Arung Bentengpola generasi ke-28. Secara administratif maupun struktural, Arung Bentengpola kini tidak memiliki kewenangan. Namun demikian, keberadaannya dianggap mewakili tokoh informal.

Akhir Maret lalu, Rumpung Bentengpola menggelar ritual penobatan ulang Arung Bentengpola, yang kini berusia 80 tahun. Pesta yang sudah lebih dari lima puluh tahun tidak pernah diadakan. Ritual yang hampir mirip dengan ritual perjamuan oleh sang raja ini, dilengkapi dengan semua bentuk kesenian yang dilakukan oleh Para Bissu. Bissu adalah para abdi kerajaan yang terdiri dari para waria.

Komunitas Arung Bentengpola yang masih tersisa sampai saat ini, bisa menjadi sebuah mosaik untuk memahami Kerajaan Wajo. Pemerintahan Kerajaan Wajo menempatkan Arung Bentengpola sebagai lembaga yang mengangkat dan melengserkan Arung Matowa atau raja Kerajaan Wajo. Inilah keunikan yang membedakan antara Kerajaan Wajo dengan kerajaan Bugis lainnya.

Raja Wajo, yang disebut sebagai Arung Matowa bukan merupakan jabatan yang turun temurun. Arung Matowa dipilih dari rakyat Wajo dan diangkat oleh perwakilan rakyat Wajo yang dipimpin Arung Bentengpola. Siapa sangka, kerajaan yang dibangun beratus-ratus tahun lalu ini memiliki sistem demokrasi yang modern. Sesungguhnya ini adalah warisan yang amat berharga bagi masyarakat kini.

Kini bekas kerajaan yang berakhir tahun 1948, adalah wilayah yang kemudian disebut sebagai Kabupaten Wajo. Sumber penghidupan masyarakat Wajo sejak masa kerajaan yaitu pertanian, perikanan dan perkebunan, sampai sekarang masih menjadi andalan mereka.

Kejayaan Bugis masa lalu, dipercaya karena kesediaan masyarakat Bugis waktu itu menghargai keberadaan para Arung atau raja. Para Arung atau raja adalah pusat kekuasaan dan kesejahteraan mereka. Pada masa kini, sebuah simbol barangkali memang masih dibutuhkan kehadirannya, untuk menyatukan masyarakat dalam harmoni. Harmoni untuk kedamaian hidup bermasyarakat.

0
Selasa, 09 Maret 2010

PENGELOLAAN DANAU TEMPE

Belum ada nilai.
Pengelolaan perikanan Danau Tempe di Kabupaten Wajo yang ramah lingkungan harus berdasarkan pada undang-undang yang berlaku, yaitu Undang-Undang PLH dan Undang-Undang Perikanan. Dalam melakukan pengelolaan perikanan ramah lingkungan, terdapat peraturan dalam UU PLH dan UU Perikanan. Peraturan tersebut merupakan proses yang harus dilakukan agar pengelolaan yang dilakukan menjadi terintegrasi antara aspek ekologi dan ekonomi, yaitu pengelolaan perikanan danau yang berkelanjutan.
Peraturan dalam Undang-Undang PLH dan Undang-Undang Perikanan sifatnya masih umum dan dapat diterapkan secara operasional oleh pemerintah, masyarakat, swasta dan pihak-pihak lainnya melalui peraturan di bawahnya seperti Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri (Kepmen) atau Peraturan Daerah (Perda). Beberapa perencanaan dan kebijakan pemerintah telah dilakukan untuk melakukan rehabilitasi lingkungan Danau Tempe yaitu Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1996 tentang Pengolahan dan Pelestarian Lingkungan Hidup dan Rencana Pembangunan Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wajo, yang merupakan penjabaran dari Rencana Strategik Daerah Kabupaten Wajo Tahun 2004 – 2008, tetapi tidak mencantumkan secara spesifik dan terintegrasi untuk pengelolaan lingkungan Danau Tempe. Kemudian Program Pelestarian Danau Tempe dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kabupaten Wajo yang memuat action plan rehabilitasi Danau Tempe secara komprehensif, yaitu rencana rehabilitasi mulai DAS inlet, muara sungai, Danau Tempe, serta DAS outlet Danau Tempe. Akan tetapi rencana program ini hanya sampai pada tahap perencanaan dan terkendala pendanaan dan sumberdaya manusia. Perencanaan lain yang memiliki konsep sama adalah program Kondisi dan Upaya Kuratif dan Proaktif untuk Pelestarian Lingkungan Hidup Kawasan Danau Tempe serta program penyelamatan air dan rehabilitasi DAS yang berhubungan dengan Danau Tempe dari Departemen Prasarana Wilayah.
Berdasarkan UU PLH dan UU Perikanan, pengelolaan perikanan yang ramah lingkungan dapat dijelaskan berdasarkan tahapan proses sesuai peraturan yang berlaku.
Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta kepenegakan hukum dan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati (UU Perikanan 2004).1. Pendataan Sumberdaya Perikanan
Segala bentuk pengelolaan membutuhkan data sebagai dasar pembuatan model pengelolaan. Pendataan sumberdaya perikanan dibutuhkan sebagai data untuk pengelolaan perikanan yang menyeluruh serta berkelanjutan. Data yang diperlukan antara lain data potensi, data tingkat pemanfaatan, nelayan dan alat tangkap, serta data sosial ekonomi dan sarana prasarana lainnya. Pendataan sumberdaya perikanan di Danau Tempe membutuhkan tenaga sumberdaya manusia yang mengetahui metode pendataan dalam konsep data base perikanan. Hal ini menjadi tangung jawab pemerintah setempat yang harus berkoordinasi dengan semua instansi terkait, khususnya Dinas Perikanan dan Kelautan.
Hasil-hasil penelitian perguruan tinggi, lembaga pemerintahan, lembaga internasional, peraturan dan kearifan lokal, hasil seminar serta pertemuan-pertemuan lain harus dijadikan referensi pengelolaan Danau Tempe. Pernyataan pemerintah daerah Kabupaten wajo bahwa Danau Tempe harus dikelola dengan program aksi yang nyata, harus menjadi perhatian semua pihak. Data dan informasi sudah cukup untuk melakukan pengelolaan perikanan dan lingkungan yang terintegrasi di Danau Tempe.

2. Perencanaan Pengelolaan Perikanan
Kelengkapan data sumberdaya perikanan serta data pendukung lainnya merupakan kebutuhan utama dalam pembuatan perencanaan pengelolaan perikanan. Perencanaan bertujuan untuk menyusun strategi pengelolaan dengan menggabungkan aspek waktu, pembiayaan dan proyeksi hasil yang diharapkan. Perencanaan yang baik merupakan langkah awal dalam pengelolaan perikanan Danau Tempe yang berkelanjutan.
Perencanaan ini harus mengintegrasikan semua kepentingan semua pihak (stakeholder) yang memanfaatkan potensi sumberdaya di Danau Tempe. Pengelolaan Danau Tempe harus memiliki suatu payung hukum yang menjadi acuan untuk semua pihak, termasuk instansi pemerintah, swasta dan masyarakat sebelum mengimplementasikan program-program yang lebih intensif di danau.

3. Pemanfaatan Sumberdaya dan Penataan Pengelolaan
Pemanfaatan sumberdaya perikanan merupakan implementasi dari perencanaan yang telah dibuat. Pemanfaatan yang dilakukan harus mempertimbangkan aspek alamiah serta kebijakan pengelolaan. Pada waktu pemanfaatan, banyak aspek dari kondisi sumberdaya yang berubah dan tidak dapat diprediksi melalui perencanaan. Olehnya itu diperlukan penataan pengelolaan yang disesuaikan dengan perubahan kondisi.
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah harus segera direvisi karena kurang memperhatikan prinsip lingkungan dalam materi kebijakan dan implementasinya. Payung hukum yang dibuat harus mempertimbangkan hukum lingkungan dan perikanan yang lebih tinggi yaitu UU PLH dan UU Perikanan. Hal ini menjadi syarat dalam pengelolaan perikanan di Danau Tempe, agar pemanfaatan sumberdaya perikanan dan penataan pengelolaan dapat berjalan sesuai aturan hukum yang ada serta tetap memperhatikan aspek ekologi dan manfaat ekonomi danau.

4. Pemeliharaan dan Pemulihan Lingkungan
Aspek pemeliharaan dan pemulihan adalah kondisi yang dilakukan untuk mempertahankan kondisi alamiah sumberdaya perikanan di Danau Tempe. Pemeliharaan lingkungan ini dilakukan untuk menjaga daya dukung lingkungan agar produksi perikanan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, sedangkan pemulihan lingkungan bertujuan untuk mengembalikan kondisi alamiah lingkungan Danau Tempe jika terdapat kerusakan atau faktor yang mengganggu kondisi danau akibat dampak suatu kegiatan.
Berdasarkan kenyataan yang ada sekarang di Danau Tempe, semua pihak menyatakan bahwa kondisi danau sudah mengalami degradasi lingkungan yang sangat parah akibat sedimentasi dan pencemaran. Sedimentasi dan pencemaran ini hanya merupakan akibat dari permasalahan dasar yaitu karena kerusakan ekosistem DAS. Pemulihan lingkungan danau harus direhabilitasi semua DAS yang masuk dan keluar dari Danau Tempe, hulu sampai hilir, sungai besar dan kecil, serta didukung oleh kebijakan dan penataan sosial ekonomi m

asyarakat di sekitarnya.
Berdasarkan beberapa forum untuk penyelamatan Danau Tempe, beberapa program rehabilitas dapat ditempuh pemerintah untuk mengatasi degradasi lingkungan danau seperti pengerukan danau, pembuatan bendung gerak, reboisasi DAS. Hal ini sesuai penjelasan Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan komisi DPR tahun 2003 bahwa berdasarkan data yang ada, kedalaman Danau Tempe 40 tahun yang lalu kurang lebih 30 meter, namun saat ini kedalaman yang ada hanya sekitar dalam 2 meter. Pendangkalan ini terjadi karena peningkatan sedimentasi pada sungai-sungai yang bermuara ke danau. Olehnya itu diperlukan langkah-langkah yaitu (1) Koordinasi antar instansi dalam program ini dan penerapan peraturan, (2) penyusunan Keppres Tata Ruang Sulawesi dan Program Penyusunan, (3) Master Plan Pengelolaan DAS Walanae – Cenrenae dimana Danau Tempe berada, (4) Pencegahan dengan pengendalian daerah hulu (penghijauan), (5) Pengerukan danau melalui Proyek Pengembangan Danau Tempe Departemen Pemukiman dan Parasarana Wilayah (Kimpraswil), dalam tiga tahap kegiatan, yakni: (a) Normalisasi Sungai Cenranae, (b) Pembangunan pintu air, dan (c) pembangunan sudetan di Sungai Welanae. Sesuai rencana,
Sungai Cenranae akan dinormalisasi melalui pengerukan sedimentasi sungai sepanjang 58 km ke arah muara di Teluk Bone. Hasil pengerukan ini akan dijadikan tanggul bantaran sungai seluas 220 ha yang sebelumnya harus dibebaskan. Normalisasi ini akan meliputi tujuh kecamatan di dua kabupaten, peningkatan peran serta masyarakat dan penegakan hukum. Langkah-langkah ini memerlukan komitmen yang kuat antar pemerintah pusat dan daerah dengan dana yang sangat besar.
5. Pengawasan, Pengendalian dan Penegakan Hukum
Pengawasan dan pengendalian adalah usaha pemerintah dalam implementasi peraturan pengelolaan perikanan danau agar tetap terlaksana secara sesuai ketentuan. Penegakan hukum berdasarkan UU PLH dan UU Perikanan harus menjadi landasan utama jika terdapat kesalahan peraturan atau tidak berjalannya kebijakan pengelolaan.
Pengawasan, pengendalian dan penegakan hukum masih rendah pelaksanaannya di Danau Tempe. Hal ini disebabkan kebijakan yang tidak mendukung dari pemerintah setempat, baik pemerintah kabupaten-kabupaten yang bersangkutan, maupun kebijakan dari pemerintah propinsi dan pemerintah pusat. Olehnya itu, degradasi lingkungan danau harus diperbaiki dengan memulai dari kebijakan yang memayungi semua kepentingan dan program rehabilitasi serta pemanfaatannya.Dalam implementasi pengelolaan perikanan di Danau Tempe Kabupaten Wajo harus mempertimbangkan aspek ekologis, ekonomi dan kebijakan serta faktor sosial. Hal ini lebih lanjut dijelaskan dalam laporan Nippon Koei co, Ltd (2003) bahwa pengembangan perikanan di Danau Tempe berdasar pada beberapa pertimbangan yaitu: (1) Kondisi sekarang perikanan di Danau Tempe , (2) Perikanan dan potensi ikan, (3) Aspek limnologi dan kondisi ekologis Danau Tempe, (4) Proyeksi konsumsi ikan masyarakat yang tinggal di sekitar Danau Tempe, dan (5) rencana pengembangan Nasional, regional dan propinsi menyangkut ke tiga daerah. Untuk mendukung pengembangan perikanan di Danau Tempe, diperlukan penetapan Pusat Pengembangan Perikanan. Pusat ini di bawah koordinasi tiga pemerintah di sekitar Danau Tempe (Soppeng, Wajo dan Sidrap) dan menguasai pengembangan perikanan yaitu pemancingan, budidaya dan konservasi sumber daya perikanan. Pusat pengembangan ini akan bekerja sama dengan universitas, institut riset, pihak terkait lainnya dan profesional untuk memikirkan: menginovasi teknologi perikanan, cara mempercepat peningkatan pendapatan nelayan dan petani ikan, cara bertani yang baik dengan mekanisme kerjasama antara nelayan, perusahaan inti dan petani ikan, standar fasilitas perikanan, cara mempercepat produksi, dan lain lain.

0

TENTUAN SUTRA TRADISIONAL GEDONGAN SULAWESI SELATAN, STUDI KASUS: KABUPATEN WAJO, SULAWESI SELATAN (1957-2007)

Keyword : Tenunan sutra, Sutra tradisional gedongan Sulawesi Selatan, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan

Industri tenunan sutra merupakan sektor penyumbang devisa Indonesia, yang berasal dari unit-unit industri yang tersebar di berbagai wilayah Nusantara. Sebagian besar unit industri tersebut terletak di Sulawesi Selatan, sehingga propinsi tersebut dikenal luas sebagai sentra terbesar kegiatan pertenunan sutra di Indonesia.



Pertumbuhan unit industri tenunan sutra di daerah Sulawesi Selatan berakar dari kegiatan tenunan Gedogan yang sudah dipraktekkan oleh masyarakat setempat sejak dahulu. Tenunan-tenunan sutra tradisional ini menjadi salah satu komoditi perdagangan di Makassar, yang terkenal sebagai bandar transit sekaligus gerbang wilayah Indonesia bagian timur, sehingga mulai dikenal luas. Industri ini semakin berkembang paska kemerdekaan Republik Indonesia, dengan digunakannya Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) serta Alat Tenun Mesin (ATM). Untuk memenuhi permintaan pasar yang tinggi, ATBM dan ATM memang lebih efektif serta menguntungkan bagi para perajin dan pengusaha.



Namun perkembangan ini tidak sertamerta menghilangkan alat tenun Gedogan dari kegiatan pertenunan sutra Sulawesi Selatan. Di Kabupaten Wajo, sentra utama perajin tenunan sutra Sulawesi Selatan, masih ditemukan penggunaan alat tenun Gedogan oleh perajin-perajin setempat hingga saat ini.



Tenunan sutra Gedogan menunjukkan keberadaan nilai kriya yang kuat pada kegiatan pertenunan sutra di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Nilai-nilai inilah yang akan menjadi topik utama dalam penelitian Skripsi kali ini, yakni mencakup nilai estetika, nilai pakai, dan nilai teknik, dalam periode perkembangan industri sutra di wilayah tersebut.

0

Profil Singkat Kabupaten Wajo dan Panwaslu Kabupaten Wajo

Kabupaten Wajo merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Sulawesi Selatan. Ibukotanya Sengkang, sekitar 242 km dari kota Makassar, dapat ditempuh sekitar 4 jam dengan menggunakan mobil. Dari kota parepare, pusat kawasn pengembangan ekonomi terpadu di propinsi Sulawesi Selatan sekitar 87 km.

Letak Geografis

Secara geografis Kabupaten Wajo terletak pada koordinat antara 30 39’ sampai 4 o 16’ Lintang Selatan dan 119 o 53’ sampai 120 o27’ Bujur Timur.Batas-batas wilayah :

- Sebelah Utara : Kabupaten Luwu dan Kabupaten Sidrap
- Sebelah Selatan : Kabupaten Soppeng dan Bone
- Sebelah Timur : Teluk Bone
- Sebelah Barat : Kabupaten Soppeng dan Sidrap

Kabupaten Wajo terdiri dari 14 kecamatan, 45 kelurahan dan desa 131 buah.Jumlah Personil : 28.195 orang

Jumlah penduduk sampai dengan tahun 2003 tercatat 364.290 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 168 699 jiwa dan perempuan 195 591 jiwa dengan tingkat sex ratio 90,26 dan tingkat kepadatan penduduk rata-rata 146 jiwa/km².

0
Minggu, 07 Maret 2010

Agro Wisata Sutera.

Agro Wisata Sutera.


Di tempat ini pengunjung dapat menyaksikan proses penanaman tanaman murbei yang merupakan makanan pokok dari ulat sutera, cara pemeliharaan ulat sutra, proses pemintalan ulat sutra sampai dengan cara penenunan kain sutra. Terletak di Kecamatan Sabbang Paru, sekitar 10 Km sebelah selatan kota Sengkang.

0
Jumat, 05 Maret 2010

Danau Tempe merupakan danau yang terletak di bagian Barat Kabupaten Wajo, tepatnya di Kecamatan Tempe, sekitar 7 km dari Kota Sengkang menuju tepi Sungai Walanae. Danau Tempe yang luasnya sekitar 13.000 hektar ini memiliki spesies ikan air tawar yang jarang ditemui di tempat lain. Hal ini karena danau tersebut terletak diatas lempengan benua Australia dan Asia.[1]

[sunting] Festival Tahunan

Setiap tanggal 23 Agustus diadakan festival laut di Danau Tempe.Acara pesta ritual nelayan ini disebut Maccera Tappareng atau upacara mensucikan danau yang ditandai dengan pemotongan sapi yang dipimpin oleh seorang ketua nelayan yang diikuti berbagai atraksi wisata yang sangat menarik. Pada hari perayaan Festival Danau Tempe ini, semua peserta upacara Maccera Tappareng berpakai Baju Bodo (pakaian adat Orang Bugis). Acara ini juga dimeriahkan dengan berbagai atraksi seperti lomba perahu tradisional, lomba perahu hias, lomba permainan rakyat (lomba layangan tradisional, pemilihan anak dara dan kallolona Tanah Wajo), lomba menabuh lesung (padendang), pagelaran musik tradisional dan tari bissu yang dimainkan oleh waria, dan berbagai pagelaran tradisional lainnya. namun sekarang terjadi kepunahan beberapa spesies, hal ini disebabkan relung relung yang berada di danau tempe sudah di isi oleh spesies lain akibat restoling ikan mas yang berlebihan

0

0

blog yang berisikan tetang wajo

Followers

bagaimana blog saya menurut anda?

Laman